/ Home / Internasional /
Jumat, 5 Desember 2008 | 17:11
Sementara orang-orang Amerika kini tengah menahan nafsu belanja, eeeh, malah orang-orang China di Beijing lah yang mengumbar gairah untuk menggelontorkan simpanannya untuk berbelanja.
Mereka berbelanja di kawasan Jinbao Jie, atau yang biasa juga disebut sebagai "Golden Treasure Street". Kawasan ini dibangun oleh pengembang Beijing yang memang mendesain dengan sangat mentereng dan sarat dengan hotel, klub dan pusat perbelanjaan. Bisa ditebak, target yang disasar adalah kalangan kelas atas dan terbilang paling sukses di China.
Ritel di area ini memang belum sepenuhnya rampung. Menurut hitungan Robert Yao, marketing manager untuk proyek ritel yang dibangun di kawasan ini, baru 75% yang sudah selesai.
Pusat kawasan ini adalah Jinbao Palace. Ini adalah mal atau pusat perbelanjaan yang akan di buka pada Februari 2009 mendatang. Di mal ini, orang-orang kaya di Beijing bisa membungkus satu unit kendaraan mewah Bugatti maupun satu unit sofa Italia yang ada di daftar must-have.
“Apa yang belum pernah ada maupun belum pernah terlihat di China, bakalan ada di mal ini,” kata Yao.
Kalau sudah begini, konsumsi yang sangat luar biasa yang tak pernah terpikirkan di kehidupan keseharian di era Mao Zedong, akan memunculkan pergerakan kultur yang berbeda. Jamak dikerahui, orang-orang China dikenal sangat pandai menyimpan uangnya, bukannya suka membelanjakan uangnya. Di tengah resesi yang tengah mengepung dunia, kehadiran pusat perbelanjaan ini diharapkan menyangga China dari rembetan krisis global.
Yao bilang, kelas atas di China siap untuk membelanjakan duitnya secara jor-joran. “Perubahan perekonomian yang terjadi belakangan memang menurunkan nilai investasi mereka, tetapi bukan konsumsi mereka,” kata Yao.
Hu Xingdou, profesor ekonomi di Beijing Institute of Technology, mengatakan bahwa konsumsi orang-orang China perlu digenjot untuk menambal ekspor yang memble. “Namun, orang yang biasa, tidak punya uang. Apalagi petani, dan gap pendapatannya terus saja membesar,” katanya.
Itu sebabnya, Hao Zhilong, pensiunan yang mereparasi sepeda di jalan yang tak jauh dari Jinbao Jie mengatakan, “Pusat perbelanjaan itu hanya untuk orang kaya dan orang-orang bule. Kami, orang biasa, hanya bisa berjalan-jalan dan melihat dari pinggir jendela. Saya tak pernah masuk ke dalam karena saya orang biasa yang tak mampu membeli barang-barang di sana.”
Hao menambahkan, kalau nanti mal ini terus berekspansi, rumah Hao sudah dijadwalkan bakalan ikut ikut tergusur untuk disulap menjadi mal mewah lainnya.
Sekadar catatan, orang-orang China telah terbiasa untuk menyimpan uangnya. Kebiasaan ini bahkan mendarah daging, sebelum akhirnya perekonomian berubah di akhir tahun 70-an. Hanya saja, generasi anyar kemungkinan akan mengubah tradisi ini.
Sinyal ini sudah terbaca dari catatan penjualan ritel yang menanjak di bulan Oktober. Menurut ekonom Merrill Lynch Ting Lu dan TJ Bond di Hong Kong, hal ini tentu saja menawarkan harapan bagi perekonomian China. Mereka memprediksi bahwa hitungan pemerintah untuk merangsang konsumsi seperti ini akan menjadi penyangga ekspor yang menciut. Lebih dari itu, juga bakal membantu pertumbuhan China tahun depan sekitar 8,6%.
Stimulus pemerintah China sebesar US$ 586 miliar telah diumumkan oleh pemerintah bulan lalu. Fokusnya lebih pada proyek-proyek infrastruktur seperti bandar udara baru dan dam.
“Sesungguhnya ironis melihat konsumen China yang konsumsinya meningkat sangat besar ditengah situasi konsumen Barat yang nasibnya belum jelas,” kata Colin Speakman, ahli China di American Institute for Foreign Study yang kerap menulis untuk koran China Daily.
Femi Adi Soempeno