Sabtu, 07 Maret 2009

MENGAPA DOLLAR USD MENGUAT HARGA EMAS TURUN

Nopember 2nd, 2008 . by husnur

erlalu banyak pertanyaan seperti ini: Di saat Amerika Serikat dilanda
krisis yang hebat seperti ini, mengapa dolarnya justru menguat?
Mengapa harga emas justru merosot? Bukankah dalam suasana krisis
mestinya harga emas naik?

Jawabnya tidak tunggal, tapi yang utama hanya satu; terlalu banyak
orang di banyak negara yang membutuhkan dolar AS.

Lembaga-lembaga keuangan raksasa yang dulu selalu meminjamkan uang
dalam dolar AS, sekarang memerlukan dolar sebanyak yang bisa ditarik.
Kalau dulu dolar mengalir dari AS ke seluruh dunia, kini semua dolar
harus mengalir balik ke AS untuk menutup lubang menganga yang sangat
besar akibat krisis itu.

Masih ada tambahan lagi, di AS banyak perusahaan atau aset yang dijual
dengan harga murah. Akibatnya, orang kaya dari seluruh dunia juga
banyak yang tergiur untuk membeli aset itu. Tentu mereka membutuhkan
dolar AS. Perusahaan (saham) AS yang di luar negeri juga banyak yang
dijual. Pembelinya juga perlu dolar. Perusahaan-perusaha an yang punya
pinjaman dolar diminta membayar sebelum jatuh tempo. Kalau tidak bisa
bayar, perusahaan itu disita untuk dijual. Juga pakai dolar. Apakah
bisa menarik kredit sebelum jatuh tempo? Bisa! Baca akad kreditnya.
Pasti menyebutkan klausul seperti itu.

Satu-satunya negara yang mata uangnya justru menguat terhadap dolar AS
hanyalah Jepang. Ini karena fondasi ekonomi Jepang sangat kukuh. Uang
cash-nya amat banyak dan dalam posisi aman. Bank-banknya punya sumber
dana yang amat murah dan berjangka panjang. Penabung di Jepang hanya
mendapat bunga 0,5% setahun.

Sebagai negara yang maju berkat dibantu AS (setelah kalah perang dunia
dulu), semestinya Jepang kini harus membantu AS. Jepang punya
kemampuan untuk itu. Cadangan devisanya nyaris USD 1 triliun! (USD 950
miliar). Dana pensiunnya, lebih gila lagi: USD 1,5 triliun. Kekayaan
sejumlah orang berduit di sana mencapai USD 15 triliun. Dana deposito
di bank mencapai USD 8 triliun.

Para ahli menyebutkan, dengan kemampuan itu Jepang bisa banyak
berbuat. Toh, Jepang tidak mau melakukannya. Jepang harus memikirkan
keselamatan negaranya dulu. Padahal, Jepang adalah kekuatan ekonomi
kedua terbesar di dunia setelah AS. Padahal, Jepang tidak akan bisa
seperti sekarang kalau dulu tidak dibantu AS. Undang-undang dasar
Jepang saja yang membuatkan McArthur! Toh, dalam keadaan krisis
seperti ini keselamatan diri sendiri dulu yang diutamakan.

Maka, jangan harap kalau Indonesia nanti terkena krisis, ada negara
lain yang mau membantu. Kini, semua negara menyelamatkan diri
masing-masing. Tidak akan ada balas jasa sekalipun. Karena itu,
mumpung krisis yang berat belum mengenai kita, Indonesia harus memupuk
terus kemampuan keuangannya. Rencana menurunkan harga BBM benar-benar
harus dihitung dulu kapan saatnya yang paling tepat.

Sebenarnya krisis yang terjadi di AS menjadi lebih gawat, antara lain,
juga karena hilangnya rasa percaya diri. Rasa konfiden itu mudah
hilang kalau kita tidak punya cukup uang. Kian besar dana yang
dimiliki negara, kian besar konfiden itu. Penyelenggara negara saat
ini tidak boleh kehilangan konfiden hanya karena tekanan politik.

Sebenarnya bukan tidak ada keinginan Jepang untuk membantu AS. Seorang
tokoh politik di sana, Kotaro Tamura, bahkan sampai jengkel karena
inisiatifnya untuk membantu AS tidak mendapat sambutan di dalam
negeri. Tamura, seorang invesment banking yang kini menjadi anggota
DPR dan mengetuai satu faksi dalam partai pemerintah, berpendapat,
mestinya Jepang bisa menggunakan uang cash-nya yang begitu banyak
untuk ikut menyembuhkan ekonomi dunia.

“Ini sebenarnya kesempatan besar bagi Jepang,” kata Tamura seperti
dikutip media seluruh dunia. “Sekarang ini, di AS, semuanya murah.
Seharusnya kita menggunakan dana kita untuk membeli semua itu,”
katanya. Dengan cara itu, kata Tamura, Jepang bisa memberikan sinyal
yang baik bagi pulihnya ekonomi dunia. Apalagi, bantuan itu toh bukan
pinjaman yang berisiko. Bantuan itu berupa kesediaan membeli aset-aset
yang lagi dijual di AS.

Beberapa perusahaan Jepang memang sudah membeli aset tersebut.
Mitsubishi membeli sebagian saham Morgan Stanley sebesar USD 9 miliar,
membeli Union BanCal di San Fransisco sebesar USD 3,5 miliar, dan
membeli Aberdeen Asset Management sebesar USD 190 juta. Tapi, itu
dianggap belum ada artinya.

Kalau Jepang bisa membeli sebanyak mungkin aset murah di AS, kata
Tamura, dalam 10 tahun mendatang Jepang akan menikmati hasilnya: Hasil
ekonomi dan hasil politik. Toh seruan Tamura itu tidak ada yang
menggubris. Tamura yang baru 45 tahun dan yang dikenal suka berpakaian
elegan (jarang politisi Jepang yang berani memakai pakaian yang mahal
seperti dia) menjadi sangat ketus.

Bahkan, proposalnya agar Jepang membuat perusahaan negara seperti
Temasek di Singapura juga ditolak. Padahal, selama ini dana-dana di
Jepang itu hanya menghasilkan bunga yang sangat rendah: 0,5% setahun!
Kalau dana itu diakumulasikan ke dalam satu usaha seperti Temasek,
hasilnya bisa sampai 18% setahun.

Jepang memang bangsa yang paling hati-hati terhadap sesuatu yang
berisiko. Tingkatnya bukan lagi sekadar hati-hati, melainkan sudah
“benci pada risiko”. “Bahkan, risiko baik sekali pun,” ujar Tamura.
Mana ada orang yang memilih dapat bunga 0,5% daripada 18%. “Orang
Jepang itu tidak tahu apa artinya laba,” kata Tamura.

Tapi, itulah memang Jepang. Mereka menilai bunga 0,5% tapi aman lebih
baik daripada “bunga 18%” tapi ada risikonya. Kita memang kagum dengan
langkah seperti Temasek, tapi kini kita juga perlu bertanya berapa
kerugian Temasek akibat krisis ini.

Demikian juga investasi China di Blackstone yang mencapai USD 250
miliar dua tahun lalu, kira-kira juga sudah hilang setidaknya
separonya. Ini berarti ada uang Rp 1.200 triliun yang tiba-tiba
lenyap. Uang yang hilang sekejap itu sudah sama dengan seluruh APBN
Indonesia!
Bagaimana dengan sikap China? Kita belum pernah mendengar inisiatif
China untuk menggunakan cadangan devisa terbesarnya di dunia itu untuk
ikut menyelamatkan Amerika. China pasti ingin menyelamatkan dirinya
sendiri dulu. Rakyatnya begitu banyak. Pabriknya yang harus tutup
jumlahnya bukan hanya ribuan. China pasti akan menggunakan cadangan
devisa, pertama-tama untuk dirinya sendiri.

Apalagi China pasti tahu bahwa meski terkena krisis, Amerika masihlah
negara kaya. Saya sering menyebutkan dengan krisis ini status Amerika
hanya turun dari “negara yang kaya raya” menjadi “negara yang kaya
sekali”. Kapitalisasi pasar modalnya masih lebih besar dibanding
Jepang, Korea, Jerman, China, Prancis, Inggris, dan Australia
dijadikan satu! Kekuatan ekonomi China yang sudah kita puji-puji itu
baru sebesar ekonomi satu negara bagian California.

Ibarat layang-layang, perusahaan-perusaha an di Indonesia kini masih
dalam status terbang. Baru satu-dua yang oleng kehilangan angin. Tapi,
semua pemilik perusahaan kini harus terus dalam posisi memegang benang
sambil mata tetap terus mengawasi layang-layang masing-masing. Begitu
kehilangan angin harus tahu apa yang harus dilakukan: Tarik benangnya.
Lengah sedikit, layang-layang itu bisa langsung nyungsep ke tanah.
Mata tidak boleh berkedip. Jangan sampai, misalnya, ditinggal ke
toilet sekalipun. Banyak yang mungkin menganggap ini berlebihan. Tapi,
siapa yang beranggapan demikian, layang-layangnyalah yang akan
nyungsep lebih dulu